Jakarta (ANTARA News) - Menneg BUMN Sugiharto menilai Cemex Asia Holdings Limited telah menerapkan penafsiran sangat sempit terhadap pasal-pasal perjanjian jual beli bersayarat (CSPA/Conditional Sale Purchase Agreement) tanpa mempertimbangkan implikasi hukum dari peraturan atau perundangan lain yang berlaku bagi Semen Gresik. Dalam surat balasannya kepada Cemex tanggal 25 Mei yang diterima ANTARA News di Jakarta, Selasa, Menneg BUMN menyebutkan Cemex perlu mengerti bahwa tidak sah untuk menjual saham Semen Gresik milik Cemex ke pihak ketiga hanya semata mendasarkan pada bahasa sempit di CSPA. Karena, menurut Sugiharto, Semen Gresik adalah BUMN dan karena itu pelimpahan saham-sahamnya juga mendasarkan pada peraturan tambahan tertentu, yang tidak dapat diterapkan di perusahaan non-BUMN. Sebagaimana diketahui, obyek hak penolakan pertama berasal dari kepemilikan Pemerintah Republik Indonesia atas saham-saham Semen Gresik yang merupakan BUMN. Dengan demikian Pemerintah Indonesia melalui Menneg BUMN memiliki kewenangan final di bawah undang-undang untuk menentukan kepada siapa saham-saham itu dapat dijual. Oleh karena itu Menneg BUMN sangat menyarankan Cemex untuk mempertimbangkan kembali jawaban dari masalah ini sehingga diskusi tentang hak penolakan pertama dapat berlanjut dan Cemex tidak mendapat resiko akan mengalami konflik dengan peraturan atau perundangan di Indonesia menyangkut penjualan saham Semen Gresik miliknya ke pihak lain. Surat Menneg BUMN bernomor S-207/MBU/2006 itu merupakan balasan surat Cemex Asia Holdings Ltd tanggal 23 Mei yang menyatakan bahwa pihaknya bebas untuk menjual saham Gresik (SMGR) yang dimilikinya kepada pihak mana pun dan tak terikat harus menjual sahamnya kepada Pemerintah Indonesia, karena isi surat Menneg BUMN yang tidak sesuai dengan CSPA. Dalam surat Cemex yang ditandatangani Direktur Cemex Hector Medina disebutkan bahwa alasan-alasan yang dikemukakan Menneg BUMN dalam suratnya kepada Cemex tertanggal 17 Mei, tidak memenuhi persyaratan pasal 11 ayat 4 dari CSPA (Perjanjian Jual-beli bersyarat) tertanggal 12 September 1998. Tiga alasan penolakan Cemex, pertama, dalam surat itu Pemerintah menyatakan bermaksud untuk menunjuk kelompok-kelompok yang terafiliasi dengan Pemerintah untuk melanjutkan pembelian kepemilikan saham Cemex Asia terhadap semen Gresik, sementara dalam CSPA hak membeli hanya untuk Pemerintah itu sendiri. Kedua, Pemerintah dalam suratnya menyatakan menginginkan perpanjangan waktu untuk periode penutupan hingga 60 hari, sementara pasal 11 ayat 4 (b) dalam CSPA mensyaratkan pembelian di bawah hak penolakan pertama efektif tidak lebih dari 30 hari. Ketiga, Pemerintah meminta Cemex Asia agar mau melakukan perjanjian jual dan beli yang menyediakan representasi dan penjaminan khusus yang tak ditetapkan. Namun di CSPA tidak ada persyaratan tersebut. Dalam suratnya itu Menneg BUMN juga menginginkan Cemex agar memenuhi permintaan pemerintah Indonesia untuk mencabut pengajuan arbitrase internasionalnya, yang oleh Cemex telah diabaikan dalam surat sebelumnya. "Dalam masalah ini kami ingin Cemex mempertimbangkan bahwa Pemerintah Indonesia meyakini untuk penyelesaian setiap dan seluruh sengketa atau ketidakcocokan antara Cemex dan Pemerintah Indonesia dibutuhkan bagi kedua belah pihak kondisi yang membangun hubungan saling menguntungkan di masa depan," tulisnya. Surat balasan Menneg BUMN kepada Cemex tanggal 25 Mei itu sebenarnya surat pengganti dari surat kepada Cemex hari sebelumnya tanggal 24 Mei. Dalam surat pertamanya itu Meneg BUMN menekankan dengan sangat agar Cemex tidak melanjutkan penjualan 24,9 persen saham Semen Gresik kepada pihak lain tanpa diskusi lebih dahulu dengan Pemerintah Indonesia. Namun pada dasarnya di dalam kedua surat itu Menneg BUMN mengharapkan Cemex bersedia merespon suratnya dengan kepercayaan yang baik dan menyetujui untuk membahas masalah ini sesegera mungkin, seraya Menneg BUMN menyatakan kesediaanya untuk bisa bertemu.(*)

Editor: Bambang
Copyright © ANTARA 2006