Beban rakyat seakan datang tiada henti. Pertama krisis ekonomi, kemudian penerapan ASEAN China Free Trade Area (ACFTA) yang pada satu sisi berdampak pada usaha domestik, dan terakhi naiknya tarif dasar listrik (TDL).

Bagai jatuh tertimpa tangga, belum sempat bangun dari bekapan krisis karena tidak memiliki daya, rakyat kecil makin terbebani oleh beban yang datangnya beruntun itu. Namun, kebutuhan hidup tak akan dipenuhi dengan berkeluh kesah.

Bagi orang yang inovatif dan kreatif, keadaan serba sulit itu justru memacu adrenalin karsanya. Mereka menggunakan kedua kunci sukses hidup itu sebagai formula untuk keluar dari jurang keterpurukan.

Salah seorang dari mereka adalah Ninik Suryatini. Beserta rekan-rekannya, Ninik memanfaatkan tanaman puring untuk disulap menjadi motif batik.

Tidak tanggung-tanggung, produk yang telah dihasilkannya seperti batik puring, sandal batik puring, blouse etnik, sarung bantal, kerudung motif puring, telah menembus Amerika.

Batik motif puring ternyata disambut hangat di negeri itu, karena Amerika juga ternyata memelihara tanaman puring.

"Kita juga telah membantu pemerintah untuk cinta lingkungan dan kita tidak menghasilkan limbah berbahaya," kata Ninik.

Ninik mengaku, bersama rekannya, dia telah menemukan satu obat yang bisa memutihkan warna, namun tidak menciptakan limbah, apalagi mencemari lingkungan.

Bagi kebanyakan orang, puring adakag tanaman yang hanya layak tumbuh di kuburan, tidak tidak untuk Nunik dan kawan-kawannya. Mereka kini telah mengkoleksi tanaman itu di lahan seluas 3.000 meter persegi.

"Dulu orang takut menanam tanaman puring, karena tanaman itu biasanya hanya ada di kuburan. Tidak ada yang berani menanam dan membiarkannya, padahal jika dilihat dari motifnya sangat indah," katanya.

Faktanya kemudian, tidak hanya Nunik dan rekannya yang melestarikan puring. Warga Gunungpati sekitar tempat usaha mereka juga menyetek tanaman itu, bahkan kini puring laku dijual.

Tidak hanya menguntungkan mereka sendiri, Nunik juga berhasil membuka lapangan kerja bagi orang lain, setidaknya delapan pekerja di tempatnya.

Pelepah Pisang

Tidak berbeda dari Ninik, Rusman Pujiono juga berhasil memanfaatkan alam sekitar menjadi pintu sukses hidupnya.

Bapak lima anak lulusan sekolah kejuruan di Tuban ini berhasil mengubah pelepah pisang menjadi barang-barang seni berharga tinggi.

Produk kerajinan tangan yang dia hasilkan itu kaya warna dan tekstur, serta tentu saja bernilai tinggi.

Karya pertamanya adalah kap lampu dan lukisan seharga Rp300 ribu per unit.

"Awalnya coba-coba, ternyata banyak peminatnya," kata Rusman yang juga memiliki usaha mebel.

Untuk membuat lukisan dari pelepah pisang, Rusman membutuhkan lembaran-lembaran pelepah pisang, lem kayu, triplek, dan pigura.

Kiatnya adalah pilihlah pelepah pisang sesuai dengan tekstur alam, lalu selaraskan dengan ide lukisan. Setelah itu. potong dan tempel dengan lem kayu pada triplek yang telah dibuatkan sketsanya.

"Sebenarnya pelepah pisang sudah digambar dengan 'pena Tuhan' dan tinggal menempelnya," kata Rusman.

Rusman mengaku, jiwa wirausaha sudah melekat lama pada dirinya. Tidak lama bekerja di industri mebel, dia sukses membuka usaha sendiri dan kini memiliki delapan pekerja mebel.

Berbagai pelatihan berkaitan dengan mebel pernah digelutinya sampai akhirnya dia mengembangkan lukisan dengan bahan dasar pelepah pisang.

"Untuk karya lukisan pelepah pisah juga tergantung imajinasi, bisa sehari satu lukisan jika berupa lukisan terpola seperti lukisan miniatur Lawang Sewu. Jika yang mengandalkan imajinasi paling cepat dua hari," katanya.

Jabatan Ketua Paguyuban Usaha Kecil Menengah (UKM) dan Industri Kecil Menengah (IKM) yang disandangnya, dia manfaatkan untuk dapat mengikuti sejumlah pameran.

Yang termenarik adalah keterampilan yang dimiliki Rusman tidak berhenti di kepalanya saja.

Warga Jalan Sumur Adem RT 03 RW 01, Kelurahan Bangetayu Kulon, Genuk, Semarang ini, juga menularkan ilmunya ke orang-orang sekitarnya, dengan membuka pelatihan.

Anak selesai sekolah namun belum mendapatkan pekerjaan adalah target empuk Rusman. Ia berharap keterampilannya turut mengurangi angka pengangguran.

"Tidak mahal," katanya. Tiga hingga kali pelatihan hanya Rp50 ribu.

Biaya tersebut terbilang jauh lebih rendah dibandingkan dengan kompensasi yang dia peroleh ketika memberi pelatihan sejenis karena pesanan pemerintah daerah.

Dua usaha yang memanfaatkan potensi alam dari Ninik dan Rusman tersebut, hanyalah sebagian kecil usaha untuk meningkatkan daya saing ekonomi dan industri kita di era ACFTA ini.

Era ACFTA tidak selalu dilihat sebagai ancaman menakutkan, sebalilnya juga harus dilihat sebagai peluang.

N008/H-KWR/AR09

Editor: Jafar M Sidik
Copyright © ANTARA 2010