Jakarta (ANTARA News) - Sudah jatuh tertimpa tangga pula, sudah "jatuh" tertindih sesat pikir pula. Lakonnya, ia tercokok kamera wartawan, lantaran ia plesir di arena argumentasi kemudian mengelabui nalar sehat. Siapa?

Dia seorang mantan pegawai Ditjen Pajak Kementrian Keuangan golongan III A. Dia Gayus Halomoan P Tambunan.

"Saya cuma mau refreshing. Saya stres," katanya sambil menangis. "Saya mohon maaf sebesar-besarnya kepada ibu majelis, ketua, dan anggota karena keluar dari tahanan. Saya tidak berbuat macam-macam. Saya kangen sama keluarga," katanya menambahkan.

"Saya ini sudah minus (harta). Ya jangan sampailah (dimiskinkan). Kasihan anak istri saya," katanya memelas.

"Kalau di luar saya terlihat tertawa-tawa, itu bukan saya tidak menyesal. Di dalam, saya menyesal. Saya membungkusnya dengan tertawa hingga tidak ingin orang tahu".

Pengakuan itu dilayangkan Gayus di akhir masa persidangan sebelum Ketua Majelis Hakim Albertina Ho mengetuk palu mengakhiri persidangan, Senin siang, sebagaimana dikutip dari laman Kompas.Com.

Setelah menyita energi media massa nasional, testimoni Gayus itu memuncaki episode berseri dari sebuah telenovela bertajuk petualangan "mirip" atau "tidak mirip". Lakonnya berlanjut.

Gayus mengaku sudah meninggalkan tahanan pada 3 November 2010, sedangkan Polri mengaku baru mengetahui Gayus keluar tahanan pada 7 November 2010. Bermula soal mirip-tidak mirip, berujung soal benar-tidak benar. Meminjam logat Betawi, soalnya berjubel.

Selain berjubel, terkesan berbondong-bondong. Dari Polri sampai pengamat telematika, berteguh menanti dan berteliti mencari bukti mengenai kebenaran hasil jepretan wartawan Kompas mengenai foto-foto mirip Gayus saat berada di Nusa Dua, Bali.

Gayus plesiran menyaksikan pertandingan tenis Commonwealth Bank Tournament of Champions 2010, Bali. Alhasil, "itu memang Gayus".

Yang membuat degup pikiran tidak menentu, ada akrobat sesat pikir berjenis "argumentum ad misericordiam". Penalaran ini bertujuan mencetuskan belas kasihan, agar pesakitan dapat mengetuk pintu maaf.

Biasanya sesat pikir ini diajukan dalam sebuah pengadilan. "Pak Hakim, kasihani saya. Saya punya anak istri yang sedang sakit keras," kata pesakitan mengiba.

Akrobat sesat pikir serupa juga dimainkan oleh Gayus. Ia menggunakan sejumlah kata yang memicu belas kasihan. Misalnya, "Saya cuma mau refreshing. Saya stres. Saya tidak berbuat macam-macam. Saya kangen sama keluarga. Saya ini sudah minus (harta). Ya jangan sampailah (dimiskinkan). Kasihan anak istri saya".

Selain mengutarakan kata berbumbu syahdu, ia membalutnya dengan menggunakan bahasa tubuh, menangis dan tertawa. "Kalau di luar saya terlihat tertawa-tawa, itu bukan saya tidak menyesal. Di dalam, saya menyesal. Saya membungkusnya dengan tertawa hingga tidak ingin orang tahu," kata Gayus.

Nalar sehat publik kembali diuji karena disuguhi satu sesat pikir bernama generalisasi. Generalisasi dapat dirumus sebagai apa yang beberapa kali terjadi dalam kondisi tertentu dapat diharapkan akan selalu terjadi apabila kondisi yang sama terpenuhi.

Misalnya, dua kali dijumpai mangga yang masam dalam kondisi keras dan hijau, nyatanya ada mangga yang keras dan hijau, maka dapat disimpulkan mangga itu rasanya masam.

Gayus mengemukakan generalisasi serupa. Dia mengatakan, semua tahanan dapat keluar masuk. "Saya tidak ada tujuan lain. Semua tahanan di sana bisa keluar," katanya. "Setahu saya saya ada lima tahanan bisa keluar masuk rutan Brimob. Saya hanya ikut-ikut saja. Saya enggak macam-macam," katanya ketika dikonfirmasi usai persidangan.

Di satu sisi, Gayus tidak memberitahukan siapa-siapa saja tahanan Mako Brimob yang keluar masuk tahanan. Di lain sisi, ia mengungkap fakta di rutan bahwa semua tahanan dapat keluar masuk. Nalarnya, karena ia tahanan di rutan itu, maka ia dapat juga keluar masuk tahanan untuk plesiran?

Mengapa Gayus mendemonstrasikan sesat pikir itu kepada publik? Motifnya tunggal saja, uang! Mulut akan berkicau seperti mesin penjawab, begitu uang beredar memadati kocek. Demikian pula, telinga akan menyelinap seperti mesin penyadap, begitu uang menggerakkannya.

Mengutip pernyataan staf pengajar STF Drijarkara, F Budi Hardiman dalam buku Memahami Negativitas, uang adalah pengasuh ketaatan (konformisme) tubuh yang paling universal.

Uang bersifat anonim, netral dan pucat pasi, artinya dapat mengalir dari siapa saja dan kepada siapa saja tanpa meninggalkan jejak identitas. Jadilah, fenomen sogok, membeli kepatuhan untuk memperoleh kemudahan dan keistimewaan.

Lakonnya, Gayus yang diduga terlibat kasus mafia pajak yang kini tengah disidangkan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, berujung memenuhi aksioma bahwa "uang bersifat anonim, netral", karena ia mampu memperdaya aparat hukum dengan melakukan suap.

"Penyuapan sejak Juli, ini pengakuan sembilan polisi," kata Kepala Divisi Humas Mabes Polri Irjen Iskandar Hasan saat konferensi pers di Mabes polri. Kesembilan polisi itu, yakni Kepala Rutan Bareskrim Polri cabang Mako Brimob Komisaris Iwan Siswanto, sedangkan delapan lainnya petugas jaga, sebagaimana dikutip dari harian Media Indonesia.

Iskandar merinci, Iwan menerima suap Rp50 juta-Rp60 juta, sedangkan delapan anggotanya menerima Rp5 juta-Rp6 juta sejak Juli lalu. Mereka sudah ditahan dengan status tersangka. Kasus Gayus membuat penegak hukum siap mengacungkan palu godam, salah satunya Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD.

"Itu serius. Artinya bisa dihukum seumur hidup. Kalau bisa lebih seumur hidup. Orang-orang seperti itu yang merusak Indonesia. Waktu diwawancarai, hanya ketawa-ketawa seperti tak berdosa. Padahal, jutaan orang dimiskinkan," katanya dalam diskusi mingguan Polemik bertajuk Jaksa Agung dalam Kandungan di Jakarta, Sabtu (13/11).

Sementara, Kuasa hukum Gayus, Adnan Buyung Nasution, meminta kepada kepolisian untuk mengusut dugaan kepergian kliennya ke Bali. "Kalau benar mesti diperiksa dong, kenapa? Apa dia sendiri pergi ke Bali? Apa ada yang mengaturnya? Untuk urusan apa? Harus jelas," katanya seusai persidangan di PN Jakarta Selatan, Senin (15/11).

Dan Staf Khusus Presiden Bidang Informasi Publik, Heru Lelono, menyatakan keluarnya terdakwa kasus penggelapan pajak, Gayus telah mencoreng nama negeri ini dalam forum internasional.

Ia mengatakan soal terbaru Gayus disinggung oleh Presiden Yudhoyono dalam rapat internal dengan para staf khusus presiden di Puri Cikeas Indah, pada Senin, 15 November 2010. "Ya beliau memberikan atensi khusus. Sangat mencoreng, sangat besar. Untuk itulah Presiden memberikan atensi mengenai itu," ujarnya.

Dan kasus Gayus? Sangat mencoreng, sangat besar.
(A024/ART)

Editor: AA Ariwibowo
Copyright © ANTARA 2010