Surabaya (ANTARA) - Guru Besar Farmasi Universitas Airlangga (Unair) Surabaya Prof Dr Dra apt Wiwied Ekasari MSi mengusulkan gagasan fitomedisin sebagai pengobatan malaria di Indonesia.

Prof Wiwied di Surabaya, Senin menyampaikan, fitomedisin merupakan sistem pengobatan yang berasal dari tanaman.

Fitomedisin berasal dari sediaan herbal yang diramu dengan cara ekstraksi, fraksinasi, pemurnian, maupun proses fisik, dan biologis lainnya.

"Fitomedisin pada dasarnya adalah sediaan herbal yang dibuat dengan cara mengekstraksi bahan tanaman, fraksinasi, pemurnian, proses fisik atau biologis lainnya. Sediaan ini dapat dibuat untuk dikonsumsi secara langsung atau sebagai dasar untuk produk herbal lainnya," katanya.

Pada dasarnya, fitomedisin telah dikenal sejak lama dalam peradaban manusia. Penemuan dan pengembangan fitomedisin tidak dapat terlepas dari pengobatan herbal dengan kulit batang pohon Kina (Cinchona) dan Qinghao (Artemisia annua).

Keduanya memiliki efektivitas yang baik dalam mengatasi malaria selama beratus-ratus tahun.

Dalam prosesnya, fitomedisin melibatkan penggunaan tumbuh-tumbuhan sebagai pengobatan. Hal itu berdasarkan pada praktik adat turun-temurun dan berdasarkan logika ilmiah.

"Fitomedisin telah terkenal sejak lama dalam sejarah peradaban manusia. Bahkan, pemanfaatan fitomedisin ini bisa dikatakan sama tuanya dengan evolusi manusia. Fitomedisin ini tidak sembarangan karena didasarkan pada praktik adat secara turun temurun atau berdasar logika ilmiah," ujarnya.

Kemudian, guru besar fakultas farmasi ke-35 itu menyampaikan bahwa Indonesia sebenarnya memiliki potensi besar dalam menerapkan fitomedisin.

Akan tetapi, peluang dan potensi itu belum berjalan secara optimal. Sebab, 90 persen obat dan bahan baku obat di Indonesia masih berasal dari impor.

"Presiden Republik Indonesia mengatakan bahwa sekitar 90 persen obat dan bahan baku obat di Indonesia masih mengandalkan impor. Padahal, Indonesia sangat kaya dengan tanaman obat. Hal ini jelas sangat merugikan perekonomian kita dan membuat industri farmasi dalam negeri tidak bisa tumbuh dengan baik," ujar Prof Wiwied.

Tantangan lainnya, menurut dia, Indonesia masih belum mampu mengatasi problem produksi hasil riset dari skala perguruan tinggi ke skala yang lebih luas.

"Tantangan lainnya adalah kemampuan Indonesia mengatasi problem klasik dalam memproduksi hasil riset-riset terutama dari perguruan tinggi menuju skala bench dan skala pilot sebelum kemudian masuk ke skala industri untuk produksi secara masif," ujarnya.

Kendati demikian, tantangan tersebut bukan berarti mustahil untuk terselesaikan. Dengan adanya dukungan dan kerja keras dari berbagai pihak, maka implementasi fitomedisin ini dapat menjadi pengobatan malaria yang efektif.

"Berdasarkan hasil pengujian, kami tidak menemukan adanya keraguan penemuan antimalaria dari tanaman di negeri kita. Kini, artemisinin dan turunannya adalah contoh luar biasa dari penemuan antimalaria berbasis tanaman yang efektif menangani malaria hingga sekarang," katanya.

Baca juga: Universitas Airlangga tambah 12 guru besar baru

Baca juga: Lima provinsi jadi percontohan menuju Indonesia bebas malaria 2030

Baca juga: Indonesia bebas dari malaria pada 2030

Pewarta: Willi Irawan
Editor: Nurul Hayat
Copyright © ANTARA 2023